Seminar Media dan Minoritas

Avatar Game Online = Cerminan Dirimu?

08.32 Lailiyanr 6 Comments


Pernah main game kan?

Tau game online ini dong pastinya…
gambar dipinjam dari sini
Bahasan kali ini adalah penelitian Lina Eklund mengenai gender dan seksualitas dalam game online World of Warcraft (WoW). Penelitian ini berfokus pada pemain perempuan, khususnya avatar pemain perempuan, untuk mempelajari bagaimana identitas gender dan seksualitas dibangun di dunia maya, khususnya dalam konteks multiplayer online role-playing game (MMORPG). 

Beberapa penelitian mengenai perempuan dan game dikemukakan disini. Beavis (2005) dan Hayes (2008) berpendapat bahwa tidak ada salahnya game untuk perempuan, karena ini bisa memberikan pengetahuan penting mengenai teknologi. Penelitian lain Corneliussen (2008), menunjukkan bagaimana perempuan digambarkan dalam banyak cara menawarkan berbagai representasi gender dalam non-dimainkan karakter permainan. Taylor, pada tahun yang sama menemukan bahwa dalam memahami gender perempuan dan kurang terwakilinya mereka serta alasan mereka dalam game online, perlu diperhatikan pula budaya game disekitarnya serta pengalaman perempuan tersebut.

Penelitian ini meminjam teori Butler mengenai gender dan performative acts dalam analisisnya. Gender adalah sebuah performative, bukan identitas yang stabil. Gender adalah seperangkat tindakan berulang-ulang dari waktu ke waktu untuk menghasilkan penampilan substansi yang kemudian menjadi alami. Pengulangan, untuk Butler (1990), adalah mekanisme yang paling penting dalam reproduksi budaya identitas. Butler (1990) menunjukkan bagaimana konteks historis dan waktu sangat penting untuk memahami bagaimana gender dan seksualitas itu dibangun. (h. 325)

Penelitian ini menunjukkan bahwa permainan WoW diatur oleh aturan yang ada pada interaksi dan identitas pemain. Avatar, menjadi salah satu faktor penting dalam menunjukkan karakter dan identitas pemain dalam berinteraksi dengan pemain lain pada permainan ini. Avatar yang berbeda dapat berinteraksi dengan dunia permainan berbeda dan juga memiliki penampilan yang berbeda pula. Hayes (2005) mengemukakan bahwa pilihan avatar bagi wanita yang bermain game komputer adalah salah satu bentuk kesadaran
Langkah pertama untuk mulai memainkan game adalah dengan menciptakan karakter melalui avatar. Salah satu pilihan yang dibuat oleh WoW dalam hal avatar ini adalah seks/jenis kelamin. Semua informan, menurut Eklund, memilih untuk menggunakan avatar perempuan dengan alasan sebagai identifikasi. Ducheneaut al. (2006) dalam observasinya menemukan bahwa avatar perempuan dalam game online cenderung memiliki peran yang sesuai dengan peran tradisional perempuan. Hal ini menunjukkan adanya stereotipe terhadap perempuan dan dominasi bahasa laki-laki. Menurut Eklund, para informan menciptakan karakter mereka berdasarkan apa yang mereka inginkan. Dengan kata lain, mereka mencoba cara-cara baru untuk membangun identitas mereka dengan menambahkan atribut seperti kebebasan dan kekuatan. (h. 327-328)

Contoh avatar perempuan dalam WoW. (gambar dipinjam dari sini)

Selain jenis kelamin, pemain WoW juga harus memilih kelas. Berbeda dengan pemilihan karakter, beberapa informan dipandu oleh pacar gamer mereka dengan merekomendasikan kelas apa yang harus mereka pilih. Aspek terakhir yang perlu dibuat selain nama adalah penampilan fisik. Dalam hal ini pemain dimungkinkan untuk memodifikasi penampilan avatarnya berdasarkan jenis kelamin, ras dan kelas. Tidak semua informan memilih avatar dengan penampilan cantik dan sesuai dengan dirinya. Adapula yang justru memilih penampilan jelek dan ingin gambaran tersebut tidak menyerupai dirinya sama sekali.

Dalam beberapa aspek, WoW bersifat netral gender. Jenis kelamin tidak memiliki efek apapun, baik terhadap kekuatan maupun hal lain. Jenis kelamin hanyalah visual. Meskipun jenis kelamin disini merupakan pilihan, namun para informan merasa bahwa mereka perlu memilih avatar perempuan untuk mengidentifikasi siapa mereka. Selain itu ras dan kelas yag dipilih juga menyesuaikan pola gender tradisional berdasarkan pengalaman dan konteks di luar game. Dalam WoW, menurut Eklund, penampilan, rambut, suara, bahasa tubuh mereka semua telah diprogram ke dalam peran stereotip gender jelas berdasarkan harapan heteroseksual.

Menurut Eklund, penciptaan identitas dalam WoW, seperti di tempat lain, adalah proses terus-menerus berlangsung. Eklund juga mengemukakan bahwa terdapat jalinan yang rumit dalam identitas online dan offline. Perbatasan antara identitas online dan offline, cenderung memudar dan membuat keduanya menjadi satu. Mereka membuat avatar mereka sesuai dengan norma-norma perempuan tradisional tetapi mengisi perwujudan ini dengan karakteristik maskulin.


world of warcraft female characters

Eklund mengemukakan bahwa seksualitas memainkan peran penting dalam penciptaan gender. Dalam permainan, seksualitas / seks hadir dalam banyak cara dan dapat dilihat dari berbagai sudut, dari penciptaan karakter jenis kelamin virtual. (h. 334)

Permainan ini, menurut Eklund, menjadi salah satu ruang bebas gamer perempuan dari keteratasan yang dia miliki dalam dunia nyata. Identitas gender kemudian dilakukan dalam berbagai cara. Mereka kemudian menciptakan lebih dari satu gender yang berbeda. Identitas yang dibangun itu kemudian tidak pernah diperbaiki dan terus berkembang dari waktu ke waktu. Avatar yang dibuat kemudian merepresentasikan keinginan mereka untuk menjadi cantik dan kuat pada waktu yang bersamaan. Mereka menunjuk kebebasan permainan ketika memilih karakter dan bermain game, tetapi mereka masih memilih untuk bermain sebagai perempuan.

Eklund mengatakan bahwa wanita yang bermain World of Warcraft membawa dengan mereka identitas secara offline gender mereka dan konteks sosial ketika mereka pergi online. Dalam penciptaan mereka dari avatar dan negosiasi mereka dari permainan mereka menciptakan diri mereka sebagai gender dan seksual makhluk di dunia maya. (h. 339)

Di akhir pemaparannya, Eklund menjeaskan bahwa seksualitas bukan menjadi masalah dalam mempelajari konstruksi gender, meskipun gamer perempuan di sini tidak memahami permainan dan dunia permainan dengan cara yang sama tetapi lebih memediasi secara berbeda tergantung pada kebutuhan dan keinginan mereka.

Jika melihat dalam konteks Indonesia, sebuah artikel dalam laman teamnxl.commenyebutkan bahwa diskriminasi terhadap perempuan masih terjadi dalam ajang kompetisi game online eSport di Indonesia. Masih adanya anggapan bahwa gamer perempuan hanya sebagai pemanis atau influencer, belum pada level gamer profesional. Padahal bila dilihat kembali, beberapa gamer perempuan justru memiliki prestasi bagus di pada level gamer profesional. Sebut saja, Nixia, seorang gamer first-person shooter yang beberapa kali menjuarai kompetisi game. Adapula Gabriella Gaby, Nata Baka, Nicole Constance dan Erika Su (selengkapnya).

Beberapa penelitian mengenai identitas gender dalam game online di Indonesia juga pernah dilakukan. Penelitian yang dilakukan oleh Surniyanti (2014) mengenai konsep diri melalui avatar game Perfect World yang menunjukkan bahwa para gamer memasuki dunia game dengan memakai identitas diri yang disesuaikan dengan konsep diri yang dimiliki dan direpresentasikan melalui avatar yang dibuat sebagai bentuk pelampiasan ketidak puasan apa yang dimilikinya.
Pemaparan lain dikemukakan oleh Nayahi (2015) dalam jurnalperempuan.org yang mengatakan bahwa eksploitasi tubuh perempuan juga digunakan dalam game online Undress a Girl. Pemain bisa 'melucuti' pakauan perempuan ketika ia berhasil menangkap dua puluh bir yang jatuh dengan cara mengklik ikon bir-bir tersebut. Menurut Nayahi, penggambaran mengenai identitas dan degree of power yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan dapat memengaruhi realitas kehidupan sosial dan hubungan antara laki-laki dan perempuan di dunia nyata.

Dan terakhir, bagaimanapun juga, mengutip perkataan Eklund, kita tidak bisa melepaskan konstruksi gender di dunia nyata dengan di dunia online karena peran dan konstruksi gender di dunia nyata mempengaruhi konstruksi gender di dunia online. 


Referensi:
Konsep diri gamers, Surniyanti, 2014
Pencitraan Perempuan oleh Media: Eksploitasi Tubuh Perempuan sebagai Objek Kepuasan Lelaki, Nayahi, 2015

You Might Also Like

6 komentar:

  1. Bagian terakhir yang mengutip Eklund, bahwa "kita tidak bisa melepaskan konstruksi gender di dunia nyata dengan dunia online karena peran dan konstruksi gender di dunia nyata berpengaruh terhadap konstruksi gender di dunia online" ini berhubungan dengan bahan bacaanku. Memang di game online kita dapat menjadi apa saja, karena fisik kita tidak terlihat. Namun, kita secara sengaja/tidak sengaja tetap membawa nilai-nilai dari dunia nyata kita ke dunia virtual, dalam hal ini game online. Berkaitan juga dengan pilihan bentuk avatar dalam dunia virtual. Menarik bahasannya Mbak Lail, dulu main game online kah? hehehe

    BalasHapus
  2. Pertanyaan yang sama buat mba lail dan mas yuli, hehe..
    mengenai bagaimana gamers perempuan yang menginginkan avatarnya tampil cantik, ingin memainkan karakter perempuan yang kuat dan mandiri bahkan bisa dibilang mereka sebenarnya sedang menuntut kesetaraan dengan keinginannya menciptakan karakter perempuan yang memiliki kekuasaan yang sama dengan karakter tokoh laki-laki dalam game online. Namun, di sisi lain gamers perempuan juga ada yang memilih avatarnya sebagai laki-laki yang sebenarnya jumlah ini jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan gamers laki-laki yang menggunakan avatar perempuan yang kebetulan hal ini sering saya temui sendiri dalam game-game online, semakin aneh dan menarik untuk diteliti, tetapi kira-kira faktor apa yang melatar belakangi hal ini ya? karena seperti yang kita tahu game online ini kan lebih berbau maskulin tetapi para gamers laki-laki justru memilih avatar perempuan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. terimakasih mbak Zaza atas masukannya. untuk pertanyaan mbak zaza, sebagian seperti yang dikatakan oleh mbak Kania. dalam tumblrku (lailiyanr.tumblr.com) aku dapatkan alasan dari gamer laki-laki yang menggunakan avatar perempuan. berikut link nya: https://www.youtube.com/watch?v=cvRcQIIMxVo

      Hapus
  3. Menanggapi komentar Zaza sekalian hehe.. kebetulan saya pernah coba-coba sedikit main game ragnarok, dan teman-teman saya juga banyak yang main game itu bahkan sampai membentuk komunitas besar yang rajin bikin pertemuan setiap bulan, sampai pindah-pindah kota. Poinnya : super solid sekali mereka ini! Hehehe
    Kalau di RO, sebenarnya inipun ada peran stereotipe gender juga. Orang secara otomatis akan berpikir pemain dengan avatar perempuan adalah perempuan, dan avatar laki-laki adalah laki-laki. Sehingga, entah mengapa 'tanker' (sebutan untuk penyerang di game) dengan ava laki-laki dipercaya lebih kuat. Sebaliknya, 'priest' (sebutan untuk healer di game) dengan ava perempuan lebih disukai *saya lupa apa priest hanya bisa dengan karakter perempuan saja..maaf ya :D
    Sehingga, tetap saja bahkan di dunia game, kekuatan dan 'perototan' milik laki-laki, dan perempuan sebagai penyokong, bekerja di belakang mereka.
    Nah, alasan beberapa orang memilih ava yang tidak sesuai jenis kelamin mereka adalah untuk mendapatkan keuntungan. Biasanya, ava perempuan cenderung mendapatkan hadiah dari pemain lain terutama jika karakternya cantik dan seksi. Pemalsuan identitas terkadang dilakukan oleh seseorang untuk meraup keuntungan dengan menipu orang lain, dan ini bagi saya salah satu bahaya dunia maya yang perlu diwaspadai.

    BalasHapus
  4. Menarik membaca kutipan dari tulisan di atas bahwa ‘kita tidak bisa melepaskan konstruksi gender di dunia nyata dengan di dunia online, karena peran dan konstruksi gender di dunia nyata mempengaruhi konstruksi gender di dunia online’. Namun, setelah membaca tulisan tersebut justru memunculkan pertanyaan, yakni apakah konstruksi gender di dunia online yang diciptakan oleh female gamers tersebut, dapat memberikan kontribusi nyata bagi mereka dalam menghadapi dan menyikapi ideologi patriarki di dunia nyata?, atau justru game online ini hanya sebagai bentuk pelarian diri dari para perempuan?, atas ketidakberdayaannya menghadapi dominasi laki-laki/patriarki di dunia nyata. Bagaimana tanggapannya, Mbak Lailiya?
    #041, #SIK041

    BalasHapus
  5. "Pemaparan lain dikemukakan oleh Nayahi (2015) dalam jurnalperempuan.org yang mengatakan bahwa eksploitasi tubuh perempuan juga digunakan dalam game online Undress a Girl. Pemain bisa 'melucuti' pakauan perempuan ketika ia berhasil menangkap dua puluh bir yang jatuh dengan cara mengklik ikon bir-bir tersebut."

    Aduh ini banget yang sering terlintas kalau udah bicarain games online, padahal mungkin ga semua mengandung eksploitasi semacam itu ya? Namun, dengan adanya peleburan identitas antara dunia online dn nyata, tetap hal tersebut rasanya perlu mendapatkan perhatian khusus ya. Karena jangan sampai games yang barangkali di awal ditujukan untuk menghibur dan melatih ketangkasan berpikir menjadi ajang yang melanggengkan tindakan tak terpuji pada perempuan..

    BalasHapus

Kirimkan ini lewat Email
BlogThis!
Berbagi ke Twitter
Berbagi ke Facebook
Berbagi ke Google Buzz